BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan perekonomian dan dunia bisnis akan selalu diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit, dan pemberian fasilitas kredit yang selalu memerlukan jaminan, hal ini demi keamanan pemberrian kredit tersebut dalam arti piutang yang meminjamkan akan terjamin dengan adanya jaminan.
Bentuk lembaga jaminan, sebagian besar mempunyai ciri-ciri interrnasional yang dikenal hampir di semua negara dan perundang-undangan modern, yaitu berrsifat menunjang perrkembangan ekonomi dan perkreditan serta memenuhi kebutuhan masyarakat akan fasilitas modal.
Lembaga jaminan, tergolong bidang hukum yang bersifat netral, karena tidak mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan spiritual dan budaya bangsa. Sehingga terhadap bidang hokum yang demikian, tidak ada keberatannya untuk diatur dengan segera. Karena jika dilihat, peraturan-peraturan hokum yang bertalian dengan lembaga jaminan terseebut di Indonesia pada umumnya sudah usang.
Gadai merupakan lembaga jaminan yang telah sangat dikenal dalam kehidupan massyarakat, dalam upayanya untuk mendapatkan dana guna berbagai kebutuhan. Pegadaian adalah sebuah BUMN di Indonesia yang usaha intinya adalah bidang jasa penyaluran kredit/pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai.
Usaha pegadaian di Indonesia dimulai pada zaman penjajahan Belanda (VOC) di mana pada saat itu tugas pegadaian adalah membantu masyarakat untuk meminjamkan uang dengan jaminan gadai. Pada mulanya usaha ini dijalankan oleh pihak swasta, namun dalam perkenbangan selanjutnya pegadaian ini diambilalih oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemudian dijadikan perrusahaan Negara, Menurut undang-undang pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu dengan status Dinas Pegadaian. Dalam sejarah dunia usaha pegadaian pertama kali dilakukan di Italia. Kemudian dalam perkembangan selanjutnyaa meluas ke wilayah-wilayah Eropa lainnya seperti Inggris, Perancis dan Belanda. Oleh orang-orang Belanda lewat pihak VOC usaha pegadaian dibawa masuk ke Hindia Belanda. Di zaman kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengambilalih usaha Dinas Pegadaian dan mengubah status pegadaian menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian berdasarkan Undang-undang No. 19 Prp. 1960. Perkembangan selanjutnya pada tanggal 11 Maret 1969 berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1969 PN Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Kemudian pada tanggal 10 April 1990 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 Perjan Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Sampai saat ini lembaga yang melakukan usaha berdasarkan atas hokum gadai hanyalah Perum Pegadaian.
Dalam perkembangannya kemudian Perum Pegadaian mengembangkan gadai dengan system syariah. Bagi Perum Pegadaian, bisnis syariah merupakan peluang yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Apalagi, mayorita warga Indonesia yang memanfaatkan jasa pegadaian adalah muslim. System gadai syariah diberlakukan mulai Januari 2003 lalu. Diharapkan, system ini akan memberikan ketenangan bagi masyarakat dalam memperoleh tanpa bunga dan halal.
Prospek pasar Pegadaian Syariah di Kanwil Perum Pegadaian Semarang cukup cerah karena jasa pegadaian ini diminati masyarakat terutama di daerah kantong ekonomi masyarakat islam. Permintaan kredit Pegadaian Syariah di Perum Pegadaian Kanwil Semarang ini cukup besar. Kanwil Perum Pegadaian Semarang sekarang ini memiliki empat cabang Pegadaian Syariah, pada tahun 2007 telah menyalurkan kredit sebanyak Rp 48 miliar atau 105 persen dari target yang ditetapkan sebanyak Rp 46 miliar.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diajukan oleh penulis adalah:
1. Bagaimanakah pelaksanaan gadai dengan sistem syariah di Perum Pegadaian Semarang?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi para pihak dalam pelaksanaan gadai dengan sistem syariah di Perum Pegadaian Semarang?
1.3 Tujuan Pembuatan Makalah
1. Untuk mngetahui pelaksanaan gadai dengan sistem syariah di Perum Pegadaian Semarang.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi para pihak dalam pelaksanaan gadai dengan sistem syariah di Perum Pegadaian Semarang.
3. Untuk syarat pemenuhan tugas bank dan lembaga keuangan lainnya.
1.4 Kegunaan Makalah
1. Kegunaan Teoritis
Hasil pembuatan makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Kegunaan Praktis
Hasil pembuatan makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan gadai dengan system konvensional maupun syariah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Usaha Gadai
Dalam kegiatan sehari-hari, uang selalu saja dibutuhkan untuk membeli atau membayar berbagai keperluan. Dan yang menjadi masalah terkadang kebutuhan yang ingin dibeli tidak dapat dicukupi dengan uang yang dimilikinya. Kalau sudah demikian maka mau tidak mau kita mengurangi untuk membeli berbagai keperluan yang dianggap penting, namun untuk keperluan yang sangat penting terpaksa harus dipenuhi dengan berbagai cara seperti meminjam dari berbagai sumber dana yang ada.
Jika kebutuhan dana jumlahnya besar, maka dalam jangka pendek sulit untuk dipenuhi, apalagi jika harus dipenuhi lewat lembaga perbankan. Namun jika dana yang dibutuhkan relative kecil tidak jadi masalah, karena banyak tersedia sumber dana yang murah dan cepat, mulai dari pinjaman ke tetangga. Tukang ijon sampai kepinjaman dari lembaga keuangan lainnya. Bagi mereka yang memiki barang-barang berharga kesulitan dana dapat segera dipenuhi dengan cara menjual barang berrharga terrsebut, sehingga sejumlah uang yang diinginkan dapat terpenuhi. Namun resikonya barang yang telah dijual akan hilang dan sulit untuk kembali. Kemudian jumlah uang yang diperoleh terkadang lebih besar dari yang diinginkan sehingga dapat mengakibatkan pemborosan.
Untuk mengatasi kesulitan di atas dimana kebutuhan dana dapat dipenuhi tanpa kehilangan barang-barang berharga, maka masyarakat dapat menjaminkan barang-barangnya ke lembaga tertentu. Barang yang dijaminkan terrsebut pada waktu tertentu dapat ditebus kembali setelah masyarakat melunasi pinjamannya. Kegiatan menjaminkan barang-barang berharga untuk memperoleh sejumlah uang dan dapat ditebus kembali setelah jangka waktu tertentu tersebut kita sebut dengan nama usaha gadai.
Dengan usaha gadai masyarakat tidak perlu takut kehilangan barang-barang berharganya dan jumlah uang yang diinginkan dapat disesuaikan dengan harga barang yang dijaminkan. Perusahaan yang menjalankan usaha gadai disebut perusahaan pegadaian dan secara resmi satu-satunya usaha gadai di Indonesia hanya dilakukan oleh Perum Pegadaian.
Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.
Dan dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa usaha gadai memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Terdapat barang-barang berharga yang digadaikan
2. Nilai jumlah pinjaman tergantung nilai barang yang digadaikan
3. Barang yang digadaikan dapat ditebus kembali.
2.2 Keuntungan Usaha Gadai
Tujuan utama usaha gadai adalah untuk mengatasi agar masyarakat yang sedang membuthkan uang tidak jatuh ke tangan para pelepas uang atau tukang ijon atau rentenir yang bunganya relative tinggi. Perusahaan Pegadaian menyediakan pinjaman uang dengan jaminan barang-barang berharga. Meminjam uang ke Perum Pegadaian bukan saja karena prosedurnya yang mudah dan cepat, tapi karena biaya yang dibebankan lebih ringan jika dibandingkan dengan para pelepas uang atau tukang ijon. Hal ini dilakukan sesuai dengan salah satu tujuan dari Perum Pegadaian dalam pemberian pinjaman kepada masyarakat dengan moto “menyelesaikan masalah tanpa masalah”.
Jika seseorang membutuhkan dana sebenarnya dapat diajukan ke berbagai sumber dana, seperti meminjam uang ke bank atau lembaga keuangan lainnya. Akan tetapi kendala utamanya adalah prosedurnya yang rumit dan memakan waktu yang relative lebih lama. Kemudian disamping itu persyaratan yang lebih sulit untuk dipenuhi seperti dokumen yang harus lengkap, membuat masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhinya. Begitu pula dengan jaminan yang diberikan harus barang-barang tertentu, karena tidak semua barang dapat dijadikan jaminan di bank.
Namun di perusahaan pegadaian begitu mudah dilakukan, masyarakat cukup dayang ke kantor pegadaian terdekat dengan membawa jaminan barang tertentu, maka uang pinjamanpun dalam waktu singkat dapat terpenuhi. Jaminannya pun cukup sederhana sebagai contoh adalah jaminan dengan jam tangan saja sudah cukup untuk memperoleh sejumlah uang dan hal ini hamper mustahil dapat diperoleh di lembaga keuangan lainnya.
Keuntungan lain di pegadaian adalah pihak pegadaian tidak mempermasalahkan untuk apa uang tersebut digunakan dan hal ini tentu bertolak belakang dengan pihak perbankan yang harus dibuat serinci mungkin tentang penggunaan uangnya. Begitu pula dengan sangsi yang diberikan relative ringan, apabila tidak dapat melunasi dalam waktu tertentu. Sangsi yang paling berat adalah jaminan yang disimpan akan dilelang untuk menutupi kekurangan pinjaman yang telah diberikan.
Jadi keuntungan perusahaan pegadaian jika dibandingkan dengan lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan lainnya adalah:
1. Waktu yang relative singkat untuk memperoleh uang yaitu pada hari itu juga, hal ini disebabkan prosedurnya yang tidak berbelit-belit.
2. Persyaratan yang sangat sederhana sehingga memudahkan konsumen untuk memenuhinya.
3. Pihak Pegadaian tidak mempermasalahkan uang terseebut digunakan untuk apa, jadi sesuai dengan kehendak nasabahnya.
2.3 Besarnya Jumlah Pinjaman
Besarnya jumlah pinjaman tergantung dari nilai jaminan (barang-barang berrharga) yang diberrikan. Semakin besar nilainya maka semakin besar pula pinjaman yang dapat diperoleh oleh nasabah demikian pula sebaliknya. Namun biasanya pegadaian hanya melayani sampai jumlah tertentu dan biasanya yang menggunakan jasa pegadaian adalah masyarakat menengah ke bawah. Kepada nasabah yang memperoleh pinjaman akan dikenakan sewa modal (bunga pinjaman) per bulan yang besarnya tergantung dari golongan nasabah. Golongan nasabah ditentukan oleh pegadaian berdasarkan jumlah pinjaman yaitu A,B,C dan D. Sedangkan besarnya sewa modal dapat berubah sesuai dengan bunga pasar.
Dalam menentukan besarnya jumlah pinjaman, maka barang-barang jaminan perlu ditaksir lebih dulu. Untuk menaksir nilai jaminan yang dijaminkan pihak pegadaian memiliki ahli-ahli taksir, misalnya jika yang dijaminkan adalah sebuah televise merek “ x ” keluaran tahun “ z “, maka si ahli taksir dengan cepat menaksir berapa nilai riil televise tersebut. Yang jelas nilai taksiran lebih rendah dari nilai pasar, hal ini dimaksudkan jika terrjadi kemacetan terhadap pembayaran pinjaman, maka dengan mudah pihak pegadaian melelang jaminan yang diberikan nasabah di bawah harga pasar. Disamping itu pihak pegadaian juga mempunyai timbangan serta alat ukur terrtentu, misalnya untuk mengukur karat emas. Tujuan akhir dari penilaian ini adalah untuk menentukanbesarnya jumlah pinjaman yang dapat diberikan.
2.4 Barang Jaminan
Bagi nasabah yang ingin memperoleh fasilitas pinjaman dari Perrum Pegadaian, maka hal yang paling penting diketahui adalah masalah barang yang dapat dijadikan jaminan. Perum Pegadaian dalam hal jaminan telah menetapkan ada beberapa jenis barang berharga yang dapat diterima untuk digadaikan. Barang-barang terrseebut nantinya akan ditaksir nilainya, sehingga dapatlah diketahui berapa nilai taksiran dari barang yang digadaikan. Besarnya jaminan diperoleh dari 80 hingga 90 persen dari nilai taksiran. Semakin besar nilai taksiran barang, maka semakin besar pula pinjaman yang akan diperroleh.
Jenis-jenis baranag berharga yang dapat diterima dan dapat dijadikan jaminan oleh Perum Pegadaian sebagai berikut:
1. Barang-barang atau benda-benda perhiasan antara lain:
a. Emas
b. Perak
c. Intan
d. Berlian
e. Mutiara
f. Platina
g. Jam
2. Barang-barang berupa kendaraan seperti:
a. Mobil (termasuk bajaj dan bemo)
b. Sepeda motor
c. Sepeda biasa (termasuk becak)
3. Barang-barang elektronik antara lain:
a. Televise
b. Radio
c. Radio tape
d. Video
e. Computer
f. Kulkas
g. Tustel
h. Mesin tik
4. Mesin-mesin seperti:
a. Mesin jahit
b. Mesin kapal motor
5. Barang-barang keperluan rumah tangga seperti:
a. Barang tekstil, berupa pakaian, permadani atau kain batik.
b. Barang-barang pecah belah dengan catatan bahwa semua barang-barang yang dijaminkan haruslah dalam kondisi baik dalam arti masih dapat dipergunakan atau bernilai. Hal ini bagi pegadaian penting mengingat apabila nasabahtidak dapat mengembalikan pinjamannya, maka barang jaminan akan dilelang sebagai penggantinya.
2.5 Prosedur Pinjaman
Seperti diketahui bahwa menariknya peminjaman uang di pegadaian disebabkan prosedurnya yang mudah, cepat dan biaya yang dikenakan relative ringan. Disamping itu biasanya Perum Pegadaian tidak begitu mementingkan untuk apa uang terrsebut digunakan. Yang penting setiap proses peminjaman uang di pegadaian haruslah dengan jaminan barang-barang tertentu. Hal ini tentu sangat berlawanan dengan prosedur peminjam uang di lembaga keuangan lainnya sepeti bank.
Secara garis besar proses atau prosedur peminjaman uang di Perum Pegadaian dapat dijelaskan berikut ini:
1. Nasabah dating langsung kebagian informasi untuk memperoleh penjelasan, missalnya tentang barang jaminan, jangka waktu pengembalian, jumlah pinjaman dan biaya sewa modal (bunga pinjaman).
2. Bagi nasabah yang sudah jelas dan mengetahhui prosedurnya dapat langsung membawa barang jaminan kebagian penaksir untuk ditaksir nilai jaminan yang diberikan. Pemberian barang jaminan disertai bukti dari seperti KTP atau surat kuasa bagi pemilik barang yang tidak dapat dating.
3. Bagian penaksir akan menaksir nilai jaminan yang diberikan, baik kualitas barang maupun nilai barang terrsebut, kemudian barulah ditetapkan nilai taksir barang tersebut.
4. Setelah nilai taksir ditetapkan langkah selanjutnya adalah menentukan jumlah pinjaman beserta sewa modal (bunga) yang dikenakan dan kemudian diinformasikan ke calon peminjam.
5. Jika peminjam setuju, maka barang jaminan ditahan untuk disimpan dan nasabah memperoleh pinjaman, berikut surat bukti gadai.
Kemudian untuk proses pembayaran kembali pinjaman baik yang sudah jatuh tempo maupun yang belum dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Pembayaran kembali pinjaman berikut sewa modal dapat langsung dilakukan di kasir dengan menunjukkan surat bukti gadai dan melakukan pembayaran sejumlah uang.
2. Pihak pegadaian menyerahkan barang jaminan apabila pembayarannya sudah lunas dan diserahkan langsung ke nasabah untuk diperiksa kebenarannya dan jika sudah benar dapat langsung dibawa pulang.
3. Pada prinsipnya pembayaran kembali pinjaman dan sewa modal dapat dilakukan sebelum jangka waktu pinjaman jatuh tempo. Jadi si nasabah jika sudah punya uang dapat langsung menebus jaminannya.
4. Bagi nasabah yang tidak dapat membayar pinjamannya, maka barang jaminannya akan di lelang secara resmi ke masyarakat luas.
5. Hasil penjualan lelang diberitahukan kepada nasabah dan seandainya uang hasil lelang setelah dikurangi pinjaman dan biaya-biaya masih lebih akan dikembalikan ke nasabah.
2.6 Kegiatan Usaha Pegadaian Lainnya
Mungkin selama ini masyarakat kita hanya mengenal usaha pegadaian secara sepintas saja yaitu sebagai tempat peminjam uang dengan cara menggadaikan barangnya. Padahal dalam praktiknya disamping usaha peminjaman uang Perum Pegadaian juga melakukan usaha lain.
Usaha lain yang dilakukan oleh Perum Pegadaian adalah:
1. Melayani jasa taksiran, bagi masyarakat yang ingin menaksir berapa nilai riil barang-barang berrharga miliknya seperti, emas, intan, berlian, mobil, televise dan barang-barang lainnya, hal ini berguna bagi masyarakat yang ingin menjual barang tersebut atau hanya sekedar ingin mengetahui jumlah kekayaannya.
2. Melayani jasa titipan barang, bagi masyarakat yang ingin menitipkan barang-barang berharganya. Jasa penitipan ini diberikan untuk memberikan rasa aman kepada pemiliknya dari kehilangan, kebakaran, atau kecurian.
3. Memberikan kredit, terutama bagi karyawan yang mempunyai penghasilan tetap. Pembayaran pinjaman dilakukan dengan memotong gaji si peminjam secara bulanan.
4. Ikut serta dalam usaha tetentu bekerja sama dengan pihak ketiga, misalnya dalam pembangunan perkantoran atau pembangunan lainnya dengan system Build, Operrate and Transfer (B.O.T).
Yang jelas bahwa usaha pokok pegadaian merupakan usaha peminjaman uang dengan system gadai, sedangkan usaha lainnya merupakan usaha penunjang kegiatan pokok Perum Pegadaian.
2.7 Pengertian Gadai Syariah
Transaksi hokum gadai dalam fikih islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertisn ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawan, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat (38) yaitu:”Setiap orang bertanggung jawabatas apa yang telah diperbuatnya”.
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang terrcakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang
mempunyai utang. Karena itu, makna gadai (rahn) dalam bahasa hokum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan. Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam hukum Islam (syara') adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.
Berdasarkan pengertian gadai di atas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan barat jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untu mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan haria benda berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hokum gadai syariah; sedangkan pihak lembaga pegadaian syariah menyerahkan uang sebagai tanda terima dengan jumlah maksimal 90% dari nilai taksir terhadap barang yang diserahkan oleh penggadai. Gadai dimaksud, ditandai denga mengisi dan menandatangani Surat Bukti Gadai (Ruhn). Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) di atas, maka tampak bahwa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/atau jamim keamanan uang yang dipinjamkan. Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh mu'amalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.
2.7.1 Dasar Hukum Gadai Syariah
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat-ayat Alquran, hadist Nabi Muhammad SAW, ijma' ulama, dan fatwa MUI. Hal dimaksud, diungkapkan sebagai berikut:
1. Alquran
QS. AI-Baqarah (2) ayat 283 yang digunakan sebagai dasar dalam membangun konsep gadai adalah sebagai berikut. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedarg kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Syaikh Muhammad Ali As-Sayis dalam Zainuddin Ali, berpendapat bahwa ayat Alquran di atas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang (rahn). Selain itu, Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis dalam Zainuddin Ali mengungkapkan bahwa rahn dapat dilakukan ketika dua pihak yang bertransaksi sedang melakukan perjalanan (musafir), dan transaksi yang demikian ini harus dicatat dalam sebuah berita acara (ada orang yang menuliskannya) dan ada orang yang menjadi saksi terhadapnya. Bahkan ‘Ali As-Sayis menganggap bahwa dengan rahn, prinsip kehatihatian sebenarnya lebih terjamin ketimbang bukti tertulis ditambah dengan persaksian seseorang. Sekalipun demikian, penerima gadai (murtahin) juga dibolehkan tidak menerima barang jaminan (marhun) dari pemberi gadai (rahin), dengan alasan bahwa ia meyakini pemberi gadai (rahin) tidak akan menghindar dari kewajibannya. Sebab, substansi dalam peristiwa rahn adalah untuk menghindari kemudaratan yang diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah pihak ketika keduanya melakukan transaksi utang-piutang.
Fungsi barang gadai (marhun) pada ayat di atas adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai (murtahin) meyakini bahwa pemberi gadai (rahin) beriktikad baik untuk mengembalikan pinjamannya (marhun bih) dengan cara menggadaikan barang atau benda yang dimilikinya (marhun), serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya itu. Sekalipun ayat tersebut, secara literal mengindikasikan bahwa rahn dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini, bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang menetap dan/atau bermukim. Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn. Apalagi, terdapat sebuah hadist yang mengisahkan bahwa Rasulullah saw. menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak melakukan perjalanan.
2. Hadis Nabi Muhammad saw
Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat rumusan gadai syariah adalah hadis Nabi Muhammad saw, yang antara lain diungkapkan sebagai berikut.
a. Hadis A'isyah ra, yang diriwayatkan oieh Imam Muslim, yang berbunyi:
Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyarm berkata : keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin 'Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari ‘Aisyah berkata: bahwasanya Rasulullah saw membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.
b. Hadis dari Anas bin Malik ra. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:
Telah meriwayatkan kepada kami Nashr bin Ali Al-Jahdhami, ayahku telah meriwayatkan kepadaku, meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Qatadah dari Anas berkata: Sungguh Rosulullah SAW. menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah
dan menukarnya dengan gandum untuk keluarganya.
c. Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang berbunyi:
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Muqatil, mengabarkan kepada kami Abdullah bin Mubark, mengabarkan kepada kami Zakariyya dari Sya’bi dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., bahwasannya beliau bersabda: Kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan. Penggandai wajib memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan manfatnya.
d. Hadis riwayat Abu Hurairah ra., yang berbunyi:
Barang gadai tidak boleh disembunyikan dari pemilik yang menggadaikan, baginya risiko dan hasilnya.
3. Ijma' Ulama
Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hokum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw, yang menggadaikan baju besinya untuk
mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw., tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad saw., yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh
Nabi Muhammad saw. kepada mereka.
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa Dewan Syariah Nastonal Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah, diantaranya dikemukakan sebagai berikut.
a. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:25/DSNMUI/III/2002, tentang Rahn;
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:26/DSNMUI/III/2002, tentang Rahn Emas;
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:09/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah;
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:10/DSNMUI/IV/2000 tentang Wakalah;
e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:43/DSNMUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi.
2.8 Pelaksanaan Gadai dengan Sistem Syariah (RAHN) di Perum Pegadaian Semarang
Kebutuhan akan dana untuk berbagai kepentingan dalam lalu lintas perekonomian masyarakat merupakan hal yang biasa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat senantiasa berkembang dan bergerak dengan dinamis dan tidak bisa terlepas dari aspek perekonomian. Dalam konteks ini keberadaan lembaga pembiayaan atau perbankan menjadi
sangat signifikan. Perum Pegadaian merupakan suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan bentuk Perusahaan Umum, yang bergerak dalam bidang usaha peminjaman uang kepada masyarakat dengan memakai lembaga jaminan gadai. Pegadaian dan Gadai merupakan lembaga dan perbuatan hukum yang sudah tidak asing lagi dalam praktek perekonomian di Indonesia. Masyarakat sudah sangat familiar dengan hal tersebut di atas. Pegadaian sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan dana untuk berbagai keperluan, khususnya dalam pengamatan penulis untuk memenuhi kebutuhan pengguna jasa pegadaian dalam skala menengah dan mikro. Pelaksanaan gadai yang berlangsung selama ini di Perum Pegadaian merupakan gadai sebagaimana dimaksud dalam KUH Perdata, yang merupakan lembaga jaminan dimana obyek jaminan berada dalampenguasaan kreditor. Dan atas peminjaman dana dengan sistem gadai ini kreditor mendapatkan keuntungan dalam bentuk bunga. Namun dalam perkembangannya Perum Pegadaian telah meluncurkan produk yang disebut dengan Gadai Syariah. Penggunaan kata Syariah disini telah dapat dipahami bahwa sistem gadai yang dimaksud tersebut merupakan suatu sistem yang berdasarkan Syariah Islam atau Hukum Islam. Penggunaan sistem gadai syariah nampaknya merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan berbagai konsep perekonomian berbasiskan Islam. Fenomena ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat Indonesia merupakan negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Dan untuk memberikan alternatif produk lembaga keuangan yang lebih Islami tersebut telah kita kenal dalam kegiatan perekonomian hadirnya Bank-bank Syariah dan kemudian disusul dengan Gadai Syariah. Bisnis gadai syariah yang dijalankan Perum Pegadaian dapat dikatakan terus berkembang pesat. Hal ini dapat dilihat dari target keuntungan sebesar Rp 70 miliar yang dipantok sepanjang tahun 2007. Hingga semester I 2007, laba bersih yang sudah dicatatkan jenis usaha itu telah mencapai Rp 45 miliar. Laba bersih Gadai Syariah telah mencapai Rp 45 miliar dari target sepanjang tahun yang sudah ditetapkan sebesar Rp 70 miliar.
Selama semester I ini, Gadai Syariah berhasil membukukan pembiayaan sebesar Rp 300 miliar yang didapat dari 45 cabang syariah. Sementara target pembiayaan sepanjang 2007 ditetapkan sebesar Rp 500 miliar. Dengan perkembangan positif yang signifikan itu, diprediksikan pembiayaan di akhir tahunnya bisa tembus Rp 600 miliar.
Oleh karena itu manajemen berniat menambah cabang syariahnya. hingga akhir tahun nanti ditargetkan total cabang syariah di seluruh Indonesia itu bisa bertambah menjadi 50 kantor cabang. Pembukaan kantor cabang itu untuk mendukung target pertumbuhan 20 persen yang sudah dipatok manajemen di awal tahun lalu. Gadai Syariah (Rahn) adalah produk jasa gadai yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Syariah, dimana nasabah hanya akan dibebani biaya administrasi dan biaya jasa simpan dan pemeliharaan barang jaminan (ijarah). Pegadaian Syariah dalam perspektif Perum Pegadaian hadir untuk menjawab kebutuhan transaksi gadai sesuai Syariah, untuk solusi pendanaan yang cepat, praktis, dan menentramkan. Oleh karena hanya dalam waktu 15 menit kebutuhan masyarakat yang memerlukan dana akan terpenuhi, tanpa memerlukan membuka rekening ataupun prosedur lain yang memberatkan. Customer Perum Pengadaian cukup membawa barang-barang berharga miliknya, dan saat itu juga akan mendapatkan dana yang dibutuhkan dengan jangka waktu hingga 120 hari dan dapat dilunasi sewaktu-waktu. Jika masa jatuh tempo tiba dan nasabah masih memerlukan dana pinjaman tersebut, maka pinjaman tersebut dapat diperpanjang hanya dengan membayar sewa simpan dan pemeliharaan serta biaya administrasi. Pemberian gadai syariah dapat menentramkan dalam pengertian sumber dana Perum Pegadaian berasal dari sumber yang sesuai dengan Syariah, proses gadai berlandaskan prinsip Syariah, serta didukung oleh petugaspetugas dan outlet dengan nuansa Islami sehingga lebih syar’i dan menentramkan.Menentramkan karena sumber dana yang dimiliki oleh pegadaian syariah didapat dari sumber dana yang halal dan sesuai dengan prinsip syariah. Produk dan layanan pencairan kredit pada kantor pegadaian syariah pada umumnya hanya menggunakan produk layanan rahn dan ijarah saja. Padahal, sebuah lembaga pegadaian idealnya tidak hanya melayani dua model jasa.
Pedoman Operasional Gadai Syariah (POGS) Perum Pegadaian, pada dasarnya dapat melayani produk dan jasa sebagai berikut:
1. Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai syariah (rahn), yaitu pegadaian syariah mensyaratkan penyerahan barang gadai oleh nasabah (rahin) untuk mendapatkan uang pinjaman, yang besarnya sangat ditentukan oleh nilai barang yang digadaikan.
2. Penaksiran nilai barang, yaitu pegadaian syariah memberikan jasa penaksiran atas nilai suatu barang yang dilakukan oleh calon nasabah (rahin). Demikan juga orang yang bermaksud menguji kualitas barang yang dimilikinya saja dan tidak hendak menggadaikan barangnya. Jasa itu diberikan karena pegadaian syariah mempunyai alat penaksir yang keakuratannya dapat diandalkan, serta sumber daya manusia yang berpengalaman dalam menaksir. Untuk jasa penaksiran ini hanya memungut biaya penaksiran.
3. Penitipan barang (ijarah), yaitu menyelenggarakan penitipan barang (ijarah) orang-orang yang mau menitipkan barang ke kantor pegadaian syariah berdasarkan pertimbangan keamanan dan alasan-alasan tertentu lainnya. Usaha ini dapat dijalankan oleh karena pegadaian syariah memiliki tempat dan gudang penyimpanan barang yang memadai. Apalagi mengingat tempat penyimpanan untuk barang gadai tidak selalu penuh, sehingga ruang kosong dapat digunakan. Atas jasa penitipan dimaksud, pegadaian syariah dapat memungut ongkos penyimpanan.
4. Gold Counter (Gerai Emas), yaitu tempat penjualan emas yang menawarkan keunggulan kualitas dan keaslian. Gerai ini mirip dengan gerai emas Galeri 24 yang ada di pegadaian konvensional. Emas yang dijual di gerai ini dilengkapi dengan sertifikat jaminan, sehingga dapat memikat warga masyarakat kalangan menengah ke atas.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota masyarakat yang ingin melakukan gadai syariah adalah sebagai berikut:
1. Membawa fotocopy KTP atau identitas lainnya yang masih berlaku (SIM, Paspor, dll);
2. Mengisi formulir permintaan Rahn;
3. Menyerahkan barang jaminan (marhun) yang memenuhi syarat barang bergerak, seperti :
Perhiasan emas, berlian dan benda berharga lainya; Barang-barang elektronik; Kenderaan Bermotor; Atau alat-alat rumah tangga lainnya. 4. Kepemilikan barang merupakan milik pribadi;
5. Surat Kuasa bermeterai cukup dan dilampiri KTP asli pemilik barang jika dikuasakan;
6. Menandatangi akad rahn dan akad ijarah dalam Surat Bukti Rahn (SBR)
Prosedur pemberian pinjaman (marhun bih) dalam gadai syariah di Perum Pegadaian dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Nasabah mengisi formulir permintaan Rahn;
2. Nasabah menyerahkan formulir permintaan Rahn yang dilampiri dengan foto copy identitas serta barang jaminan ke loket;
3. Petugas Pegadaian menaksir (marhun) agunan yang diserahkan;
4. Besarnya pinjaman/marhun bih adalah sebesar 90% dari taksiran marhun
5. Apabila disepakati besarnya pinjaman, nasabah menandatangani akad dan menerima uang pinjaman
Penggolongan Pinjaman dan Biaya Administrasi :
Golongan Marhun Bih | Plafon Marhun Bih (Rp )
| Biaya Administrasi (Rp )
|
A | 20,000 - 150,000 | 1,000 |
B | 151,000 - 500,000 | 5,000 |
C | 501,000 - 1,000,000 | 8,000 |
D | 1,005,000 - 5,000,000 | 16,000 |
E | 5,010,000 - 10,000,000 | 25,000 |
F | 10,050,000 - 20,000,000 | 40,000 |
G | 20,100,000 - 50,000,000 | 50,000 |
H | 50,100,000 - 200,000,000 | 60,000 |
Tarif Ijarah :
No | Jenis Marhun | Perhitungan Tarif |
1 | Emas, Berlian | Taksiran / Rp. 10.000 x Rp. 85 x Jangka waktu / 10
|
2 | Elektronik | Taksiran / Rp. 10.000 x Rp. 90 x Jangka waktu / 10
|
3 | Kendaraan Bermotor
| Taksiran / Rp. 10.000 x Rp. 95 x Jangka waktu / 10
|
Tarif Ijarah dihitung dari nilai taksiran barang jaminan/marhun dan Tarif Ijarah dihitung dengan kelipatan 10 hari, 1 hari dihitung 10 hari.
Simulasi Perhitungan Ijarah :
Nasabah memiliki barang jaminan berupa emas dengan nilai taksiran Rp. 10.000.000; Marhun Bih maksimum yang dapat diperoleh nasabah tersebut adalah Rp. 9.000.000 (90% x taksiran) Maka, besarnya Ijarah yang menjadi kewajiban nasabah per 10 hari adalah :
Ijaroh = × Rp 85 × = Rp 85.000
|
Jika nasabah menggunakan Marhun Bih selama 25 hari, berhubung Ijarah ditetapkan dengan kelipatan per 10 hari, maka besar Ijarah adalah Rp. 255.000 dari Rp. 85.000.- x 3 dibayarkan pada saat nasabah melunas atau memperpanjang Marhun Bih. Selain hal tersebut di atas berdasarkan penelitian di lapangan dapat diketahui bahwa produk lain dari Gadai Syariah Perum Pegadaian adalah Jasa Titipan. Sering kali dalam kondisi tertentu kita terpaksa meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang relatif cukup lama, seperti Hari Raya Idul Fitri, liburan, pulang kampung, ibadah haji dan lainnya. Dalam kondisi ini setiap orang senantiasa menginginkan harta bendanya dalam keadaan aman. Perum Pegadaian melalui Kantor Gadai Syariahnya memberikan solusi dengan jasa penitipan sebagai salah satu produk dari gadai syariah. Jasa penitipan adalah suatu bentuk layanan penyimpanan barang sementara di Cabang Pegadaian, yang menerima penitipan barang bergerak dan surat-surat berharga atau surat penting lainnya, dengan proses cepat dan biaya terjangkau.
Jangka waktu penitipan bervariasi, sesuai kebutuhan pelanggan, mulai dari 2 minggu hingga maksimun 12 bulan. Dan untuk kemudian dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Setiap barang disimpam ditempat yang bersih, rapi dan kokoh dan diasuransikan. Prosedur layanan jasa penitipan tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut ini:
1. Pemohon mengisi formulir permintaan jasa penitipan, dan melengkapinya dengan foto copy KTP atau identitas lain yang masih berlaku;
2. Petugas menerima, memeriksa, dan menghitung nilai barang yang akan dititipkan;
3. Pemohon membayar biaya administrasi;
4. Petugas menimpan barang dengan baik, dan menyerahkan surat bukti penyimpanan barang.
Transaksi yang digunakan oleh pegadaian syariah adalah transaksi yang menggunakan dua akad, yaitu:
1. Akad Rahn
2. Akad Ijarah
Penjelasan rinci mengenai kedua akad dimaksud, tertera pada lembaran belakang Surat Bukti Rahn (SBR), sehingga dengan demikian setiap nasabah (rahin) memahami apa yanh hendak dilakukan. Meskipun secara konsep kedua akad dimaksud, sesungguhnya memiliki perbedaan. Namun dalam tehnis pelaksanaannya nasabah (rahin)tidak perlu mengadakan akad dua kali. Sebab, 1 (satu) lembar SBR yang ditanda tangani oleh nasabah (rahin) sudah mencakup kedua akad dimaksud. Pada Akad Rahn, nasabah (rahin) menyepakati untuk menyimpan barangnya (marhun) kepada murtahin di Kantor Pegadaian Syariah sehingga nasabah (rahin) akan membayar sejumlah ongkos kepada murtahin atas biaya perawatan dan penjagaan terhadap marhun. Pelaksanaan Akad Rahn ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Nasabah (rahin) mendatangi murtahin (kantor pegadaian) untuk meminta fasilitas pembiayaan dengan membawa marhun yang akan diserahkan kepada murtahin;
2. Murtahin melakukan pemeriksaan termasuk menaksir harga marhun yang diberikan oleh nasabah (rahin) sebagai jaminan utangnya;
3. Setelah semua persyaratan terpenuhi, maka murtahin dan nasabah (rahin) akan melakukan akad;
4. Setelah akad dilakukan, maka murtahin akan memberikan sejumlah marhun bih (pinjaman) yang dinginkan oleh nasabah (rahin) dimana jumlahnya disesuaikan dengan nilai taksir barang (di bawah nilai jaminan);
5. Sebagai pengganti biaya administrasi dan biaya perawatan, maka pada saat melunasi marhun bih (pinjaman), maka nasabah (rahin) akan memberikan sejumlah ongkos kepada murtahin.
Apabila menggunakan Akad Rahn, maka nasabah (rahin) hanya berkewajiban untuk mengembalikan modal pinjaman dan menggunakan transaksi berdasarkan prinsip biaya administrasi. Untuk menghindari praktik riba, maka pengenaan biaya administrasi pada pinjaman dengan cara sebagai berikut:
1. Harus dinyatakan dalam nominal, bukan persentase;
2. Sifatnya harus nyata, jelas, pasti, serta terbatas pada hal-hal yang mutlak diperlukan untuk terjadinya kontrak.
Kategori marhun dalam akad ini adalah barang-barang yang tidak dapat dimanfaatkan/dikelola, kecuali dengan cara menjualnya. Karena itu, termasuk berupa barang bergerak saja, seperti emas, barang elektronik, dan sebagainya. Selain itu, tidak ada bagi hasil yang harus dibagikan, sebab akad ini hanya akad yang berfungsi sosial. Namun dalam akad ini mengharuskan sejumlah ongkos yang harus dibayarkan oleh pihak nasabah (rahin) kepada mutarhin sebagai pengganti biaya administrasi yang dikeluarkan oleh mutarhin. Akad Ijarah merupakan penggunaan manfaat atau jasa penggantian kompensasi, yaitu pemilik yang menyewakan manfaat disebut muajjir sedangkan penyewa atau nasabah disebut dengan mustajir. Sesuatu yang diambil manfaatnya (tempat penitipan) disebut majur dengan kompensasi atau balas jasa yang disebut dengan ajran atau ujrah. Karena itu, nasabah (rahin) akan memberikan biaya kepada muajjir karena telah menitipkan barangnya untuk dijaga dan dirawat oleh mutarhin. Untuk menghindari riba, pengenaan biaya jasa pada barang simpanan rahin mempunyai ketentuan, yaitu:
1. Harus dinyatakan dalam nominal, bukan persentase;
2. Sifatnya harus nyata, jelas, pasti, serta terbatas pada hal-hal yang mutlak diperlukan untuk terjadinya kontrak;
3. Tidak terdapat tambahan biaya yang tidak disebutkan dalam akad awal.
Setiap saat uang pinjaman (marhun bih) dan pengambilan barang gadaian di kantor pegadaian syariah dapat dilunasi dan dilakukan tanpa menunggu habisnya jangka waktu akad (jatuh tempo). Proses pengembalian pinjaman (marhun bih) sampai penerimaan barang jaminan tidak dikenakan biaya apapun, kecuali membayar jasa penyimpanan sesuai tarif yang berlaku. Pelunasan uang pinjaman (marhun bih) dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain;
1. Nasabah (rahin) membayar pokok pinjaman (marhun bih) di kantor pegadaian syariah, tempat Nasabah (rahin) telah melakukan transaksi;
2. Bersamaan dengan pelunasan pokok pinjaman (marhun bih), barang jaminan (marhun) yang dikuasai oleh mutarhin dikembalikan kepada nasabah (rahin) sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan;
3. Pelunasan pinjaman dapat juga dilakukan dengan cara menjual barang jaminan (marhun) jika nasabah (rahin) tidak dapat memenuhi kewajibannya setelah jatuh tempo. Hasil penjualan (lelang) barang jaminan (marhun) digunakan untuk melunasi dan membayar jasa penyimpanan serta biaya-biaya yang timbul atas penjualan (lelang) barang tersebut;
4. Apabila harga jual barang jaminan (marhun) melebihi kewajiban nasabah (rahin) maka sisanya dikembalikan kepada nasabah (rahin). Sebaliknya, jika jumlah penjualan barang ternyata tidak mencukupi pokok pinjaman (marhun bih) dan membayar jasa penyimpanan maka kekurangannya tetap menjadi kewajiban nasabah (rahin) untuk membayar atau melunasinya;
5. Nasabah (rahin) dapat memilih skim pelunasan, apakah mau melunasi secara sekaligus atau dengan cicilan. Selain itu, jika dalam masa 4 (empat) bulan nasabah (rahin) belum dapat melunasi kewajibannya, maka ia dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pinjaman baru untuk masa 120 hari ke depannya beserta biaya yang harus ditanggungnya. Jika setelah perpanjangan masa pelunasan pemebri gadai (rahin) tidak dapat melunasinya kembali, maka barang gadai (marhun) akan dilelang atau dijual oleh murtahin.
Pelaksanaan gadai syariah merupakan suatu upaya untuk menampung keinginan masyarakat khususnya umat muslim yang menginginkan transaksi kredit sesuai Syariat Islam. Dengan demikian Pegadaian Syariah memiliki perbedaan mendasar dengan pegadaian konvensional dalam pengenaan biaya. Pegadaian konvensional memungut biaya dalam bentuk bunga yang bersifat akumulatif dan berlipat ganda, lain halnya dengan biaya di Pegadaian Syariah yang tidak berbentuk bunga, tetapi berupa biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, dan penaksiran. Biaya gadai syariah lebih kecil dan hanya sekali saja.
2.8.1 Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Pelaksanaan Gadai Syariah
Penerapan sistem syariah dalam kegaiatan perekonomian memberikan suatu alternatif lain bagi masyarakat, mengingat penggunaan sistem bunga telah mendominasi perekonomian dunia sejak ratusan tahun yang silam. Hampir semuan perjanjian dibidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak negara yang telah dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan negara lain sehingga terus menerus terjadi kesenjangan. Pengalaman di bawah dominasi perekonomian dengan sistem bunga selama ratusan tahun membuktikan ketidakmampuannya untuk menjembatani kesenjangan ini. Didunia, diantara negara maju dan negara berkembang kesenjangan itu semakin lebar sedang di dalam Negara berkembang, kesenjangan itupun semakin dalam. Namun di Indonesia, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dengan semua ketentuan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Edaran Bank Indonesia, Pemerintah telah memberi peluang berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah berdasarkan sistem bagi hasil. Pelaku ekonomi mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah, asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham, menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk berdirinya lembaga- lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti : modal ventura, leasing, dan pegadaian. Sesuai dengan PP Nomor 103 Tahun 2000 Pasal 8, Perum Pegadaian melakukan kegiatan usaha utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai serta menjalankan usaha lain seperti penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, layanan jasa titipan, sertifikasi logam mulia dan batu adi, toko emas, industri emas dan usaha lainnya. Kegiatan usaha Pegadaian dijalankan oleh lebih dari 730 Kantor Cabang Perum Pegadaian yang tersebar di seluruh Indonesia. Kantor Cabang tersebut dikoordinasi oleh 14 Kantor Wilayah yang membawahi 26 sampai 75 kantor Cabang. Terbitnya PP Nomor 10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP Nomor 10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP Nomor 103 Tahun 2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah. Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada system administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003.
Perjanjian gadai ada dan diajarkan dalam Islam. Fikih Islam mengenal perjanjian gadai yang disebut “rahn”, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan hutang. Apabila kita cermati lebih lanjut maka dapat diketahui bahwa dasar hukum rahn adalah Al Qur’an, khususnya surat Al-Baqarah ayat 282 yang mengajarkan agar perjanjian hutang piutang itu diperkuat dengan catatan dan saksi-saksi, serta ayat 283 yang membolehkan meminta jaminan barang atas hutang-hutang.
Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah, ayat 282 :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. ...Dan persaksikanlah dengan dua orang sakasi orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkanya. ...”“
Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah, ayat 283 :
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). ...”
Dasar hukum lainnya adalah Sunnah Rasul, khususnya yang meriwayatkan Nabi Muhammad s.a.w. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang diutang dengan jaminan berupa baju besinya. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r. a., berkata :
“Rasullulah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau”. Dasar hukum tentang gadai syariah berikutnya adalah Ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh) perjanjian gadai. Selanjutnya yang menyangkut segi-segi teknis, seperti ketentuan tentang siapa yang harus menaggung biaya pemeliharaan selama marhun berada ditangan murtahin, tata cara penentuan biayanya, dan sebagainya, adalah
merupakan ijtihad yang dilakukan para fukaha. Unsur-unsur rahn adalah :
1. Orang yang menyerahkan barang gadai disebut “rahin”;
2. Orang yang menerima barang gadai disebut “murtahin”;
3. Dan barang yang digadaikan disebut “marhun”.
4. Juga merupakan unsur rahn adalah sighat akad.
Dengan demikian, perjanjian gadai syariah yang dilakukan antara Kantor Cabang Pegadaian Syariah Perum Pegadaian selaku kreditor, dengan nasabahnya selaku debitor, merupakan dasar dari pelaksanaan gadai syariah. Selain hal hal tersebut di atas, perlindungan hukum bagi para pihak dalam pelaksanaan gadai syariah dapat dilihat dari Fatwa Dewan Syariah Nasional No 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan, bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Murtahin (penerima barang), mempunya hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun, pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
5. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
6. Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
7. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
8. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah, setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat diketahui, bahwa benda gadai (Marhun) harus diserahkan kepada kreditor (Murtahin). Benda jaminan gadai tidak dibolehkan berada dalam tangan debitor, walaupun hal tersebut diperjanjikan, karena sangat bertentangan dengan prinsip gadai. Larangan ini sekaligus menunjukkan pula, bahwa perjanjian gadai bersifat riil. Mahkamah Agung dalam salah satu pertimbangan hukumnya menetapkan, bahwa dalam hubungan “pand”/gadai, pemilikan atas barang jaminan tetap berada pada debitor, namun penguasaan secara fisik atas barang tersebut berada di tangan kreditor.
Konsepsi lembaga gadai syariah dalam suatu perusahaan tentunya tidak berbeda dengan lembaga gadai syariah dalam hubungan antar pribadi. Adanya keinginan masyarakat untuk berdirinya lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga gadai perusahaan yang benar-benar menerapkan prinsip syariat Islam. Untuk mengakomodir keinginan ini perlu dikaji berbagai aspek penting, antara lain : aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dan lain-lain. Apabila ditinjau dari aspek legalitas, mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan izin Pemerintah. Namun sesuai dengan Peraturan pemerintah No. 10 tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian (PERJAN) menjadi Peusahaan Umum (PERUM) Pegadaian, Pasal 3 ayat (1) a menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Kemudian misi dari Perum Pegadaian dapat diperiksa antara lain pada Pasal 5 ayat (2) b, yaitu pencegahan praktek ijon, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Selain itu, tujuan Perum Pegadaian dipertegas oleh PP No. 103 Tahun 2000, yang menyatakan bahwa pegadaian ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah. Legislasi di atas menunjukan hingga saat ini masih menjadi kekuatan atau dasar hukum yang mengikat bagi beroperasinya badan pegadaian syariah, termasuk pendirian cabang-cabang syariah di bawah Perum Pegadaian. Selain itu fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama (MUI) yang dapat dijadikan acuan dalam menjalankan pratek gadai sesuai syariah, yakni Fatwa No. 25/DSN/MUI/III/2002 tentang Rahn (Gadai), yang disahkan pada tanggal 26 juni 2002, dan Fatwa No. 26 DSN/MUI/III/2002 tentang Rahn Emas (Gadai). Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami bahwa Perum Pegadaian mempunyai legalitas yang cukup kuat untuk melakukan gadai dengan sistem syariah, walaupun gadai syariah belum diatur dalam suatu peraturan perundangan-undangan secara khusus di Indonesia.
2.9 Pelaksanaan Lelang di Pegadaian Syariah
Meminjam uang di pegadaian dengan menjaminkan barang itu hal biasa dilakukan, tapi mengikuti lelang di pegadaian mungkin belum menjadi kebiasaan bagi banyak orang. Lelang adalah upaya penjualan di muka umum terhadap barang jaminan yang sudah jatuh tempo sampai tanggal lelang tidak ditebus oleh nasabah. Lelang dapat berupa penawaran barang tertentu kepada penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah, kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi (harga naik). Di samping itu, lelang dapat juga berupa penawaran barang yang pada mulanya membuka lelang dengan harga tinggi, kemudian semakin turun sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan tawaran tertinggi yang disepakati penjual (lelang turun). Di pegadaian konvensional pada umumnya, prosesnya menganut sistem lelang naik, yakni barang akan jatuh kepada penawar yang berani membeli dengan harga tertinggi. Proses lelang di pegadaian konvensional ada dua periode, dan masing-masing jangka waktu hingga jatuh tempo adalah empat bulan. “Periode kredit pertama tanggal 1-15 dan akan dilelang pada tanggal 18-22 bulan kelima. Periode kedua dari tanggal 16-31, maka dilelang pada tanggal 3-7 bulan keenam. Misalkan nasabah menggadaikan barang ke pegadaian pada 1-15 Januari maka akan dilelang pada bulan kelima, yaitu pada 18-22 Mei. Dan jika masuk periode kedua, maka akan dilelang pada 3-7 Juni. Sedangkan waktu eksekusinya hanya satu hari dan dilaksanakan di setiap cabang dan Kanwil pegadaian. Jadi setiap cabang hanya mempunyai agenda satu kali untuk eksekusi. Namun sebelum pelelangan dilaksanakan, pada bulan keempat nasabah akan mendapat surat pemberitahuan pelelangan. Pemberitahuan lewat surat terutama untuk barang yang besar seperti kendaraan. Simulasi lelang di Pegadaian konvensional dapat diuraikan sebagai berikut. Sang juru taksir pegadaian biasanya akan membuka pelelangan di atas harga taksiran. Misalkan sebuah TV 14 inci yang sudah jatuh tempo dari seorang nasabah yang telah mengambil taksiran maksimal sebesar Rp500 ribu. Dengan beban bunga 1,6 persen per 15 hari, maka selama 4 bulan bunga akan terakumulasi sebesar 12,8 persen atau Rp64 ribu. Sehingga bunga plus taksiran maksimal menjadi Rp 564 ribu. Sang juru taksir misalnya membuka dengan harga Rp600 ribu. Jika ada peminat, maka pembeli dikenakan beban tambahan sebesar 2 persen 7 permil dari harga lelang. Dua persen sebagai ongkos lelang dan 7 permil sebagai uang miskin yang semuanya akan disetor ke kas negara. Andaikata dalam pelelangan TV tersebut laku Rp700 ribu, maka dengan konsep 2 persen 7 permil, pembeli masih menanggung biaya sebesar Rp18,9 ribu. Pegadaian akan menerima Rp700 ribu. Uang yang diterima tersebut, jelas dia, akan dikurangkan lagi sebesar Rp564 ribu. Sisanya sebesar Rp136 ribu akan dikembalikan lagi kepada nasabah yang barangnya telah tereksekusi. Lelang sebagai upaya eksekusi terhadap barang jaminan juga dilakukan di Pegadaian Syariah. Lelang merupakan upaya terakhir yang dilakukan oleh Kantor Cabang Pegadaian Syariah apabila ada nasabahnya yang wanprestasi. Sebelum lelang akan dilakukan upayaupaya sebagai berikut:
1. Memberikan peringatan secara lisan melalui telpon;
2. Memberikan surat peringatan secara tertulis;
3. Pendekatan persuasif atau kekeluargaan dengan jalan meminta nasabah datang ke Kantor Cabang Pegadaian Syariah atau pihak Pegadaian Syariah akan mendatangi rumah nasabah untuk melakukan negosiasi dalam rangka mencari solusi dari masalah wanprestasi nasabah, antara lain dengan jalan:
· Gadai ulang;
· Penambahan plafon;
· Mengangsur;
· Menjual sendiri obyek jaminan;
· Penjualan obyek jaminan dilakukan oleh pihak pegadaian dengan melalui proses lelang
Lelang akan dilaksanakan apabila sampai batas waktu yang telah ditetapkan penerima gadai (rahin) masih tidak dapat melunasi uang pinjamannya (marhun bih), maka akan dilakukan proses pelelangan barang gadai atau jaminan (marhun) dengan prosedur sebagai berikut:
1. Satu minggu sebelum pelelangan barang gadai (marhun) dilakukan, pihak pegadaian akan memberitahukan penerima gadai (rahin) yang barang gadai atau jaminan (marhun) akan dilelang;
2. Ditetapkannya harga pegadaian pada saat pelelangan;
3. Hasil pelelangan akan digunakan untuk biaya penjualan dari harga penjualan, biaya pinjaman dan sisa akan dikembalikan kepada nasabah (rahin);
4. Sisa kelebihan (uang kelebihan) yang tidak diambil oleh nasabah (rahin) akan diserahkan kepada Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang terakreditasi. Lelang dilakukan setiap bulannya, proses dan tata cara lelang di Pegadaian Syariah pada dasarnya sama seperti lelang umum, penawar yang membeli dengan harga tertinggi berhak untuk membeli. Akan tetapi dalam lelang yang dilakukan oleh Pegadaian Syariah Semarang khususnya, dilakukan dengan cara penawaran amplop tertutup.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Gadai Syariah (Rahn) adalah produk jasa gadai yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Syariah, di ana nasabah hanya akan dibebani biaya administrasi dan biaya jasa simpan dan pemeliharaan barang jaminan (ijarah). Pelaksanaan gadai syariah merupakan suatu upaya untuk menampung keinginan masyarakat khususnya umat muslim yang menginginkan transaksi kredit sesuai Syariat Islam. Dengan demikianPegadaian Syariah memiliki perbedaan mendasar dengan pegadaiankonvensional dalam pengenaan biaya. Pegadaian konvensional memungut biaya dalam bentuk bunga yang bersifat akumulatif dan berlipat ganda, lain halnya dengan biaya di Pegadaian Syariah yang tidak berbentuk bunga, tetapi berupa biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, dan penaksiran. Biaya gadai syariah lebih kecil dan hanya sekali saja. Keberadaan Pegadaian Syariah dimaksudkan untuk melayani pasar dan masyarakat, yang secara kelembagaan dalam pengelolaan menerapkan manajemen modern, yaitu menawarkan kemudahan, kecepatan, keamanan, dan etos hemat dalam penyaluran pinjaman.
2. Perlindungan hukum bagai para pihak dalam pelaksanaan gadai syariah dapat dilihat dari ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama (MUI) No. 25/DSN/MUI/III/2002 tentang Rahn 101 (Gadai), yang disahkan pada tanggal 26 Juni 2002, yang antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya; Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi utangnya. Apabila Rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi; Selain hal tersebut akad transaksi di Pegadaian Syariah harus sesuai dengan Syariah Islam, seperti : akad tidak mengandung syarat fasik/bathil, pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut, Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,milik sah penuh dari Rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
Lembaga gadai syariah belum diatur dalam suatu peraturan perundangan-undangan secara khusus di Indonesia, secara yuridis dasar dari pelaksanaan gadai syariah di Perum Pegadaian adalah Peraturan pemerintah No. 10 tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian (PERJAN) menjadi Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian, Peraturan Pemerintah No. 103 tahun 2000, dan Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama (MUI) yang dapat dijadikan acuan dalam menjalankan pratek gadai sesuai syariah, yakni Fatwa No. 25/DSN/MUI/III/2002 tentang Rahn (Gadai).
3. Lelang sebagai upaya eksekusi terhadap barang jaminan,juga dilakukan di Pegadaian Syariah. Lelang merupakan upaya terakhir yang dilakukan oleh Kantor Cabang Pegadaian Syariah apabila ada nasabahnya yang wanprestasi. Lelang akan dilaksanakan apabila sampai batas waktu yang telah ditetapkan penerima gadai (rahin) masih tidak dapat melunasi uang pinjamannya (marhun bih), maka akan dilakukan proses pelelangan barang gadai atau jaminan (marhun). Lelang dilakukan setiap bulannya, proses dan tata cara lelang di Pegadaian Syariah pada dasarnya sama seperti lelang umum, penawar yang membeli dengan harga tertinggi berhak untuk membeli. Akan tetapi dalam lelang yang dilakukan oleh Pegadaian Syariah Semarang khususnya, dilakukan dengan cara penawaran amplop tertutup.
3.2. Saran
Sampai saat ini berdasarkan penelitian belum terdapat bermasalahan dalam pelaksanaan lelang. Namun demikian wacana penyelesaian sengketa syariah tetap diperlukan di pegadaian syariah, mengingat probematika hukum merupakan realitas yang tidak dapat dihindari dalam suatu perbuatan hukum. Apabila dikemudian hari muncul sengketa dari perjanjian syariah yang dibuat para pihak, maka penyelesaian sengketa syariah menjadi urgent untuk dibicarakan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Gadai Syariah. Sinar Grafika. Jakarta.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta. Gema Insani Press.
Badrulzaman, Mariam Darus. Bab-bab tentang Credietverband, gadai dan Fidusia, Alumni, Bandung.
Hadi, Sutrisno. 2000. Metodologi Research Jilid I, ANDI, Yogyakarta.
Masjchoen Sofwan, Sri Soedewi, 1980, Pokok Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Perorangan, Liberty, Yogyakarta.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2005, Hak Istimewa, Gadai, Dan Hipotek, Prenada Media, Jakarta.
Patrik, Purwahid dan Kashadi. 2003. Hukum Jaminan, Fakultas Hukum Undip.
Remi Sjahdeini, Sutan, 2002, hukum Kepailitan Memahami Failiissementsverordening, Pustaka Grafiti, Jakarta.
Margono, Suyud. 2000. ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Muhammad, Abdul Kadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Pasaribu, Chaeruddin dan K. Lubis.Suhrawardi. 1994. Hukum Perjanjian dalam Islam, SinarGrafika, Jakarta.
S, Nasution, 1982. Metode Penelitian Kualitatif. Tarsito : Bandung.
Sabiq, Sayid. 1988. Fikih Sunnah. Jilid 12, PT. Al – Ma’rif. Bandung.
Satrio , J. 2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
Siamat, Dahlan. 2001. Manajemen Lembaga Keuangan. Lembaga Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Soekamto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press : Jakarta.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia : Jakarta.
________. 1985. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia : Jakarta.
Subekti, R. 1992. Aneka Perjanjian. PT Citra Aditya Bakti : Bandung.
Sunggono, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Syafei, Rahmat. 1995. Konsep Gadai; Ar-Rahn dalam Fikih Islam antara Nilai Sosial dan Nilai Komersial dalam Huzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan).
Tiong, Oey Hoey. 1985. Fiducia sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan, Ghalia Indonesia: Jakarta.
Zuhdi, Masjfuk dan Fiqhiyah, Masail. 1989. Kapita Selekta Hukum Islam. CV. Haji Masagung. Jakarta.
B. Peraturan/Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian (PERJAN) menjadi Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian,
Peraturan Pemerintah No. 103 tahun 2000 tentang (PERUM) Pegadaian.
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama (MUI) No. 25/DSN/MUI/III/2002 tentang Rahn (Gadai).
www.google.com
www.yahoo.com
www.scribd.com